KANDUNGAN BAWANG PUTIH (ALLIUM SATIVUM) DALAM BENTUK EKSTRAK SEBAGAI ANTIFUNGI DALAM UJI MIKROBIOLOGI
Abstract
Penyakit kulit akibat infeksi jamur atau dermatofitosis ditemukan di segala lapisan masyarakat negara tropis dan lembab seperti Indonesia. Persebaran dermatofitosis dikaitkan dengan obesitas, diabetes melitus, kebersihan lingkungan yang buruk, kebiasaan menggunakan pakaian ketat dan lembab. Trycophyton rubrum menjadi jamur penginfeksi utama. Dermatofitosis dengan pengobatan lambat menyebabkan hiperkeratosis, hipergranulosis atau hipogranulosis pada epidermis. Farmakoterapi utama dermatofitosis meliputi mikonazol, bifonazol, flukonazol, ketokonazol, griseofulvin, terbinafin dan intrakonazol. Di antara obat-obat tersebut hanya intrakonazol yang bersifat fungisidal namun kurang diminati karena harganya cukup mahal, sedangkan obat yang lain bersifat fungistatik sehingga sering menyebabkan kekambuhan. Bawang putih menjadi suatu bahan alami yang dikategorikan sebagai komposisi obat herbal yang mengandung kurang lebih 33 komponen sulfur, enzim-enzim, 17 asam amino dan mineral, seperti selenium yang memiliki kekhasan bau dan berkhasiat sebagai obat antidiabetes, antihipertensi, antikolesterol, antiatherosklerosis, anti-oksidan, antikanker, antiagregasi sel platelet, antivirus, pemacu fibrinolisis dan antimikroba. Kandungan alliin bawang putih yang diremas akan teroksidasi menjadi allisin yang selanjutnya menjadi deoksi-alliin, dialyl disulfida (DADS) dan diallyl trisulfida (DATS), suatu senyawa antimikroba.